Category Archives: Pers Mahasiswa

Genealogi Hujan

Kerinduan akan turunnya hujan setelah sekian lama tanah mengering akibat kemarau berubah menjadi semacam kutuk semesta. Hujan yang kita harapkan menyemai tanah dan memberi kesuburan telah melungsurkan bumi, menjelma menjadi banjir di berbagai kota. Hujan salah mongso—kata orang jawa—kerap terjadi karena perubahan iklim dunia tekah mengubah jadwal kedatangannya.

Hujan lebat—yang kemudian melahirkan longsor dan sungai meluap seperti yang kini berlangsung diberbagai kota—nyatanya menjadi amanita hati nurani yang segera memberi kesadaran ekologis bagi para penguasa dan perancang pembangunan. Karena hujan, seorang bupati, gubernur, ketua partai, anggota parlemen, menteri, bahkan presiden rela tergopoh-gopoh menyambangi publik. Mereka rela berbasah-basah bersama para korban. Bila perlu karena hujan, para anggota parlemen bisa sedikit punya suara. Hujan juga secara kreatif telah dijadikan ruang mobilisasi oleh mereka yang ingin menjadi tokoh politik.

Setelah hujan melahirkan longsor, pemerintah daerah tidak perlu membuat proposal untuk meminta pembangunan jalan dan irigasi. Hujan lebih dahsyat dari proposal! Begitulah Bengawan Solo akan dibenahi setelah meluap. Hutan-hutan di Karanganyar akan lebih ditata setelah longsor dan korban jiwa melayang. ( Hey…,tidak perlu wakil rakyat untuk meminta dana pembanguna ke pusat, cukup memberdayakan pawang hujan). Maka siapa bilang hujan tidak punya berhubungan dengan persoalan legitimasi ?

Pesan politik lain dari hujan adalah dalam kaitannya dengan ideologi ‘pembangunanisme’ yang kini gencar dilakukan. Satu hal yang pantas dicatat, betapa mahal ongkos ekologis yang harus dibayar oleh derap pembangunan yang kini dilakukan. Karena menempatkan alam dalam kategori ekonomi, maka alam boleh dieksploitasi untuk kemudian dijual. Alam ditundukkan, dipabrikasi, serta dikapling hanya untuk melayani hasrat dan kebutuhan jangka pendek manusia. Developmentalisme hanya mengembangkan prinsip ekologi dangkal (shallow ecology). Bagi kalangan ini, manusia adalah majikan alam semesta. Pandangan ini sangat meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan rasio adalah segalanya. Manusia adalah sang kreator sejarah.

Dominasi dari pemikiran shallow ecology tampaknya juga berlangsung pada level global. Keputusan yang mengemukan dari Conference of Parties (CoP) ke-13 dalam rangka Konferensi Perubahan Iklim di PBB di Bali pada akhir 2007 silam sesungguhnya merupakan kemenangan kalangan shallow ecology atas kalangan deep ecology yang memiliki perspektif lain tentang hubungan manusia dengan alam.

Kesepakatan tentang jual beli karbon, misalnya, menjadi potret nyata dari arus pemikiran shallow ecology ini. Negara-negara maju yang memiliki cukup modal sebagai hasil dari proses industri mereka, dengan mudah dapat mengompensasi “dosa-dosa ekologis” mereka dengan membeli sertifikat penurunan karbon. Sertifikat tersebut telah dijadikan lembar pengampunan dosa dari negara-negara industri maju.

Negara-negara maju yang juga negara-negara industri kemudian siap menggelontarkan bantuan atau kredit kepada negara berkembang yang memiliki berbagai proyek untuk mengurangi pemanasan global (global warming). Seolah-olah dilangit dan atmosfer sana terdapat marka pembatas antar negara yang bisa membatasi perubahan iklim untuk tidak menyeberang ke negara lain.

Kalangan deep ecology menawarkan cara pandang yang lebih mendalam, yang intinya ingin mengajak manusia untuk mengembangkan sensibilitas ekologis. Harmoni dengan alam dan menempatkan alam bukan semata sebagai factor produksi, adalah cara pandang kalangan ini. Benar bahwa pembangunan harus mengembangkan modal, tetapi bukan dengan cara mem-babi buta mengeksploitasi alam.

Developmentalisme lah yang membuat standar-standar baru atas berbagai aspek kehidupan mencapai titik puncak, dimana manusia tak lagi bisa memisahkan apa yang dibutuhkan dan apa yang menjadi hasrat dan keinginan.

Standar-standar dan gaya hidup baru makin memuncak dalam gejala konsumerisme. Fase manusia antroposentris telah berubah dari “aku berpikir maka aku ada” menjadi “aku belanja maka aku ada”. Gaya hidup itulah—dan bukan kehidupan itu sendiri—yang kemudian harus dilayani alam dan seisinya untuk sekedar memanuhi selera instant manusia. Ironisnya, kekayaan alam yang besar terkadang hanya untuk memenuhi gaya hidup segelintir kelas yang berpunya.

Medium tegur sapa

Karenanya, muncul pemimpin lokal yang memiliki perspektif tentang lingkungan akan sangat dibutuhkan dimasa yang akan dating. Jika suatu daerah masih dihuni oleh sebagian besar penduduk yang miskin, mengapa harus memaksakan diri membangun mal dan apartemen mewah? Jika pantai-pantai yang terbuka menjadi ruang publik yang murah bagi masyarakat untuk menikmati hidup, mengapa harus tergoda jejaring korporasi yang ingin menjadikan pantai dan laut sebagain pelayan para tuan besar yang datang dari dunia yang jauh? Gagasan Sultan HB X untuk menjadikan Pantai Parangtritis dan sekitarnya sebagai pantai publik dan wahana pendidikan—seperti kerap ia sampaikan—adalah sikap pemimpin yang memiliki sensibilitas ekologis ini.

Hujan dan tanah longsor telah mengabarkan sebuah pesan etis kepada kita semua untuk selalu mengembangkan harmoni dengan lingkungan. Bencana alam juga telah mengabarkan sebuah pesan politis bagi para pengambil keputusan tentang perlunya melihat dimensi ekologis sebagai sebuah variabel yang akan mempengaruhi keberlanjutan kehidupan.

Saatnya para pemimpin mengembangkan sebuah sensibilitas ekologis, dengan cara mendengarkan sebanyak mungkin masukan dan kritik yang disampaikan berbagai kalangan, seperti aktivis dan masyarakat. Mungkin ada baiknya kita kutip kata-kata Ghandi yang begitu masyhur: “Dunia selalu menyediakan dengan cukup berbagai kebutuhan manusia, tetapi dunia tak akan pernah bisa mencuckupi keserakahan manusia…”

Hujan adalah pesan langit untuk berbagai pencapaian modernitas kita hari ini. Sekurang-kurangnya, hujan telah mendorong hasrat filantropis kita setelah sekian lama abai terhadap orang lain dan mereka yang tunakuasa. Hujan adalah medium tegur sapa, baik secara social maupun budaya. Haruskah menunggu hujan dan banjir untuk melihat solidaritas tetap ada? Rasanya tidak!


oleh Adde M Wirasenjaya
Dosen Politik Lingkungan Global pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UMY

Tulisan ini telah dimuat pada Diplomacy Magazine #1 KOMAHI UMY , 2009

Kedaulatan Negara dan Ancaman Universalisme

Hipotesis Huntington yang menyatakan bahwa hancurnya Uni Soviet dan Komunisme maka kini dunia menghadapi tantangan baru, dalam hal ini Islam merupakan ancaman bagi peradaban dunia. Negara-negara Islam secara umum berada pada orbit-orbit negara-negara satelit yang secara politik dan ekonomi tereksploitasi oleh the Core country. Universalisme dengan isu-isu HAM, demokrasi, dan liberalisme menjadi alat untuk melemahkan peran negara dunia ketiga yang telah berdaulat.

Kedaulatan negara yang ditandatangani pertama kali pada perjanjian Westphalia 1948 sebagai embrio awal kolonialisme dengan alasan men-civilize-kan negara-negara lain yang uncivillzed berakhir pada paruh awal abad ke-19 dan bermetamorphosis menjadi kekuatan non-fisik yang lebih berbisa. Teori-teori sosial yang dikembangkan di Amerika Serikat sejak 1948 seperti teori pembangunan dan modernisasi telah berhasil menciptakan tatanan masyarakat global yang independen secara teritorial dan interdependen secara ekonomi dan politik.

Penjajahan fisik pada masa kolonialisme sudah bermetamorfosis menjadi penjajahan non-fisik dengan menurunya peran negara dan menguatnya peran swasta dalam hal ini korporasi-korporasi dengan semangat kapitalisme. Hal ini menjadi kekuatan awal dari universalisme dalam mengontrol segala bentuk kebijakan dalam negeri suatu negara untuk dibenturkan dengan traktat hukum-hukum internasional yang pada hakikatnya pro-kepentingan the core state dan mekanisme pasar bebas.

Hak asasi manusia dan liberalisme sebagai kekuatan internasional malahan menjadi subur menetas menjadi peluang korporasi asing untuk menanamkan modalnya di negara dunia ketiga, jadi hak merekalah yang mereka perjuangkan, tapi mereka tidak melirik terhadap hak masyarakat pribumi yang tereksploitasi.

Pada kasus-kasus semisal di Indonesia, seperti kasus Munir, Timor-timur, dan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua senantiasa menarik kekuatan universalisme untuk intervensi yang konon bukan menyelesaikan tapi membuat otoritas negara menjadi kian melemah.

Hal ini menyebabkan kian merosotnya kepercayaan masyarakat pada peran pemerintah, padahal Indonesia adalah negara yang berkedaulatan atas rakyat, tapi peran rakyat terasa terabaikan dan tereduksi sebagai zon-politicon. Hal ini terjadi bukan hanya karena kelemahan politik Indonesia saja, tapi berdasar hipotesis Adam Smith yang menyatakan bahwa negara sebagai penjamin kemakmuran akan sulit berjalan ketika keadaan ekonomi tidak mendukungnya. Negara Indonesia yang secara ekonomi masih interdependen akan sulit keluar dari intervensi asing dalam kedok universalisme.

Ini menjadi tugas kita sebagai mahasiswa untuk memproduksi wacana-wacana baru yang kontraproduktif terhadap teori-teori sosial sebelumnya yang telah berhasil menjerat dan menciptakan realitat sekarang ini.


Oleh: Wahyu Tri Harsono
Mahasiswa HI UMY Konsentrasi Dunia Islam

Tulisan ini telah dimuat pada IRN Buletin KOMAHI UMY Edisi 21 , Desember 2008 . Pada hal.4 dengan judul “Kedaulatan Negara-negara Dunia Ketiga & Ancaman Universalisme Menyambut Tantangan Globalisasi”.

PNMHII: Sebuah Implementasi dari Eksistensi Mahasiswa HI

Pertemuan Nasional Mahsiswa Hubungan Internasional se-Indonesia (PNMHII) adalah sebuah pertemuan nasional yang dihadiri oleh seluruh mahasiswa HI di seluruh Indonesia. Pada pertemuan nasional kali ini yang diadakan di Pekanbaru, Riau dari tanggal 30 November-6 Desember 2008 dan Universitas Riau (UNRI) sebagai tuan rumah dari pertemuan tersebut. PNMHII kali ini merupakan PNMHII yang ke XX, dan dihadiri oleh sekitar 150 orang dari 27 kampus di seluruh Indonesia.

Grand Theme PNMHII kali ini adalah “World Needs Real Action Cope With Global Warming” didasarkan pada kenyataan bahwa dewasa ini permasalahan global warming telah menjadi isu transnasional dan perlu dicarikan jalan keluarnya secara bersama-sama.

Dalam PNMHII kali ini, permasalahan yang dibahas tidak jauh dari fokus terhadap tema utama yaitu global warming. Di dalam seminar, talk show yang mengahadirkan beberapa pakar dan praktisi baik itu dari LSM-LSM maupun dari instansi pemerintah yang terkait dengan hal tesebut ditekankan bahwa sudah saatnya bagi masyarakat luas terutama kaum intelektual untuk memahami tentang bahaya global warming serta efek negatif yang dapat ditimbulkan oleh permasalahan tersebut.

Dalam beberapa kali kesempatan berinteraksi langsung dengan pihak pengambil keputusan di Provinsi Riau, seperti dengan Ketua Komisi A DPRD Provinsi Riau mereka secara terang-terangan mangakui bahwa kelemahan dari mereka sebagai stakeholder adalah mengurangi dan memberantas illegal logging yang ditengarai oleh banyak pihak sebagai salah satu penyebab meningkatnya suhu global di dunia, bahkan salah satu anggota WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) secara terang-terangan telah menyebut M.S. Kaban sebagai seorang antek kapitalis yang rela menjual hutan di Sumatera demi kepentingan sekelompok orang.

Selain seminar dan talkshow, di dalam PNMHII juga terdapat dua agenda penting lain yaitu JSF (Joint Statement Forum) dan SF (Sidang Forum). Dalam JSF menghasilkan beberapa rekomendasi bagi pemerintah untuk menaggulangi makin parah nya dampak global warming, di JSF ini juga membuktikan bahwa mahasiswa HI seluruh Indonesia memiliki posisi tawar yang cukup diperhitungkan di ranah kepentingan pembuat keputusan dan juga sekali lagi sebagai bukti eksistensi dari mahasiswa HI itu sendiri.

Dalam SF, yang merupakan sebuah forum dimana merupakan salah satu hal yang paling penting bagi kelangsungan PNMHII dan FKMHII ke depan adalah, ditunjuknya Universitas Airlangga sebagai tuan rumah Pertemuan Sela Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia yang rencananya akan dilakasanakan pada bulan Juni tahun depan, dan terpilihnya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai tuan rumah PNMHII yang ke XXI. Pada PNMHII yang ke XX ini juga menetapkan Universitas Airlangga sebagai pemakalah terbaik yang otomatis merebut piala bergilir Menlu dari tangan Universitas Padjadjaran Bandung.

Tulisan ini telah dimuat pada IRN Buletin Edisi 21 , Desember 2008 . Hal. 9.

Malam Pentas Indonesian Channel 2008

“Jangan sampai kita belajar Tari Bambangan Cakil dari pemuda Thailand atau Afrika Selatan” tutur Dr. Hassan Wirajuda (Menteri Luar Negeri RI).

Fenomena ironis terjadi di Taman Budaya Yogyakarta pada 31 Oktober 2008 lalu, malam itu di depan mata kepala kita, 50 peserta dari 29 negara menampilkan Rampak Kendang, Tari Ambabar Batik dan Bambangan Cakil dengan begitu luwesnya.

Seolah kesenian itu memang milik mereka. Lantas siapakah yang duduk manis di kursi penikmat dan memberi applause kala melihat atraksi-atraksi yang ditampilkan? Kita! Manusia-manusia Indonesia yang menjadi penonton di rumahnya sendiri. Memalukan!

Jangan jengah lantas menuding mereka berniat mencuri kebudayaan tradisional kita. Mereka tak lain adalah peserta Program Beasiswa Seni dan Budaya (BSBI) yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri RI untuk yang ketiga kalinya di Indonesia.

Malam itu merupakan malam puncak yang diberi nama Indonesia Channel 2008, dimana berbagai kesenian negeri kita ditampilkan. Seperti permainan Angklung dan Arumba, karawitan khas Bali seperti Tabuh Bila, Tari Pendet Puspa Werti, Tari Adimergangga, dan masih banyak lagi.

Acara yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri RI, Bapak Hasan Wirajuda, para duta besar dari negara peserta, serta mahasiswa dari berbagai universitas seperti UMY, UPN, UGM, dan UWH yang tergabung dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Wilayah IV ini berlangsung hangat mulai pukul 6 hingga pukul 10 malam.

“Program ini merupakan bagian diplomasi publik yang diharapkan menjadi investasi kita di masing-masing negara peserta agar dapat membuahkan kerjasama serta pemahaman yang lebih baik tentang Indonesia. Semoga menjadi Soft Diplomacy yang efektif untuk meraih dukungan dunia luar.” Tutur perwakilan Deplu, dari Direktorat Kerjasama Teknik, Bapak Ahmad Ma’rufi ketika menemani peserta BSBI berkunjung ke UMY sehari sebelum pementasan .

Tulisan ini telah dimuat pada IRN Buletin KOMAHI UMY Edisi 21 , Desember 2008 . Hal. 1 dan Hal. 8