Save our earth!
Stop global warming!
Say no to plastic bag!
Tagline di atas sudah tidak awam lagi di telinga kita. Tagline semacam itu banyak dapat kita baca di spanduk, baliho, iklan produk, bahkan di kaos-kaos.
Global warming, sebuah isu tua yang diremajakan. Kira-kira seperti itulah pendapat saya mengenai isu global warming, climate change, dan teman-teman sejawatnya, yang akhir-akhir ini banyak digembor-gemborkan.
Seperti efek domino, isu yang mulanya hanya menjadi santapan sekelompok orang yang termarjinalkan (menurut saya), tiba-tiba menjadi menu wajib di setiap perbincangan. Seakan mendapat wangsit dalam semalam, dunia tiba-tiba menjadi satu suara meneriakkan stop global warming.
Acara-acara bertajuk peduli lingkungan, menyelamatkan bumi seakan menjadi ritual wajib. Aksesoris pendukung seperti kaos dan pin bertuliskan stop global warming seakan menjadi kebutuhan primer yang wajib terpenuhi. Bahkan saking boomingnya isu ini, sebuah band pun tak mau ketinggalan menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan dengan memberi nama bandnya ‘efek rumah kaca’.
Harus diakui kepedulian terhadap lingkungan yang ditunjukkan dengan berbagai kegiatan bertajuk menyelamatkan lingkungan merupakan sebuah fenomena yang wajib kita syukuri. Coba bayangkan bagaimana indahnya dunia ini bila manusia-manusianya peduli terhadap lingkungan.
Tidak hanya kita yang merasakan, tapi anak cucu kita pun turut merasakan ‘kasih sayang’ bumi. Namun bukan bermaksd skeptis atau sinis, menurut saya, isu peduli lingkungan tak jarang banyak diasumsikan sebagian orang sebagai sebuah trend yang sedang in dan wajib diikuti. Seakan terdapat sebuah peraturan tak tertulis yang menyatakan bahwa ga’ tau global warming berarti ga’ gaul, katrok, ketinggalan zaman”.
Bahkan para produsen baik fashion, makanan, ataupun barang lainnya pun jeli melihat isu ini sebagai komoditas yang menguntungkan. Sebagai contoh, banyak rumah makan yang menyerukan makanan organik, ramah lingkungan. Banyak produk fashion seperti kaos, pin, dan pernak-pernik lainnya yang menggunakan gambar atau model-model yang melambangkan lingkungan, seperti gambar bumi, hutan, atau hanya sekedar tulisan “Save Our Planet”. Cukup miris sebenarnya, karena pada akhirnya menjadi pertanyaan tersendiri apakah masyarakat memang mulai peduli terhadap lingkungan ataukah terjebak menjadi korban trend semata?
Tidak dapat disalahkan memang bila secara tiba-tiba banyak yang menjadi penggemar fanatik Al Gore dengan semangat lingkungannya. Dan tidak menjadi salah bila isu lingkungan ini kemudian menjadi sebuah trend, karena bisa saja dari sekedar hanya mengikuti trend akhirnya menjadi benar-benar peduli.
Namun kemudian yang harus diperhatikan adalah ketika semangat peduli lingkungan tidak diimbangi dengan pemahaman yang benar mengenai lingkungan. Sekali lagi bkan bermaksud skeptis, sinis, atau sok tau, tapi yang terjadi sekarang ini adalah banyak pihak yang secara tiba-tiba dan berjamaah menjadi pecinta lingkangan, menggembor-gemborkan stop global warming, namun tidak memahami makna sebenarnya dari global warming, dan berbagai istilah di dalamnya.
Sebagai contoh, ketika ditanya mengenai global warming, kebanyakan dari orang akan menjawab bahwa global warming adalah kondisi menjadi panas dikarenakan lubang ozon yang menipis dan sunar tra violet yang bebas masuk tanpa penghalang menuju bumi. Atau menegenai efek rumah kaca, banyak yang menyatakan bahwa efek rumah kaca adalah kondisi dimana bumi menjadi panas karena banyaknya gedung pencakar langit yang menggunakan kaca, sehingga panas matahari salaing memantul dan memanaskan bumi.
Sungguh suat terminologi cinta lingkungan yang memilukan bukan?
Sekali lagi, bukan bermaksud mengecilkan semangat peduli lingkungan yang ada, tapi rasanya perlu sebuah kebijaksanaan dalam menyikapi dan menerapkan kepedulian terhadap lingkungan. Lebih baik mengetahui bagaimana harus bersikap bijaksana tanpa harus fanatik membabi buta terhadap lingkungan.
Sebagai contoh adalah mengenai kampanye Say No to Plastic Bag! Memang benar menurut penelitian bahwa dalam plastik terkandung zat-zat yang sulit didaur ulang alam, hingga akhirnya hanya menjadi tumpukan sampah. Namun apakah harus benar-benar melepaskan diri dari plastik? Mungkin kantong plastik dapat dikurangi, tapi bagaimana dengan plastik di chasing HP, laptop, layar TV, atau plastik di lapisan kartu ATM? Apakah harus kita tinggalkan atau buang? Rasanya saat ini cukup dibayangkan saja.
Mungkin kantong plastik dapat digantikan oleh kantong kertas, tapi bukankah akan menjadi masalah lagi karena untuk membuat kertas akan banyak pohon yang dikorbankan? Atau tidak pakai kantong plastik dan banyak orang yang menggantungkan hidup dari kantong plastik tidak lagi bisa makan?
Cukup dilematis memang, karena akan selalu ada kaitan dari semuanya. Lingkungan tidak dapat dianak emaskan, demikian pula yang lainnya, karena kesemuanya saling berkolerasi. Lingkungan, teknologi, ekonomi, dan sosial. Ada sebuah pertanyaan yang lebih mengarah pada pernyataan yang cukup bagus menurut saya “ lebih memilih mana?lingkungan rusak sedikit tapi semua bisa makan atau lingkungan tidak rusak sama sekali tetapi semua bisa makan?” (anonim).
Pada akhirnya memang butuh sebuah kebijaksanaan, karena akan selalu ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkan sesuatu. Tetapi memilih dan bersikap bijaksana sesuai tempat dan kebutuhan mungkin adalah jalan yang terbaik sekarang ini.
Pada akhirnya mungkin kepedulian dan kecintaan terhadap lingkungan hanyalah sebuah trend.
Dan sebagaimana layaknya sebuah trend, isu, gosip, maka akan hilang dan muncul mengikuti masanya. Mungkin mudah kita mengatakan bahwa “saya mencintai lingkungan, sekarang dan sampai kapanpun”. Kata-kata yang manis bukan? Seperti janji yang sering diucapkan seseorang kepada kekasihnya. Tetapi seperti cinta sepasang kekasih yang kadang terhenti waktu, mungkin begitu juga yang terjadi ketika trend peduli lingkungan meredup digantikan trend lainnya. Tetapi yang harus kita ingat adalah, kepedulian kita terhadap lingkungan bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk orang-orang terkasih kita nanti.
Tidak perlu kata-kata besar untuk menunjukkan kepedulian kita terhadap lingkungan, namun hanya butuh sebuah tindakan nyata dengan kebijaksanaan. Dan rasanya itu dapat kita mulai dari diri sendiri dengan cara yang sederhana, karena lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Syilvia Pradhika Kurnialita
Mahasiswa Hubungan Internasional UMY 2006
Tulisan ini telah dimuat pada Majalah Diplomacy Magazine Edisi #1 , 2009.